Sabtu, 27 Juli 2013

GORESAN PENA MENGHADAPI KOTA BANDUNG


Hari/tgl : jumat 14-juni 2013
Hari jumat saat setelah menyelesaikan kuliahku tepatnya jam 11 aku langsung meluncur kembali ke pondok tercinta, di pondok aku lihat kumpulan teman teman ku yang di pimpin orang yang selama ini aku banggakan, mamik khol, aku menyebut mamik karena sudah sepantasnya dia memamakai gelar itu, melihat apa yang dia miliki (ilmu) dan apa yang sudah ia perbuat untuk pondok ini. Aku ucap salam dan mencium tangannya berjabat, jejeran Koran di depannya menggerakan kan ku untuk ikut membaca berita hari itu, dengan teliti aku melihat ia membalikan setiap halaman sambil melingkari setiap nama yang ia kenal di halaman itu dengan polpen yang ia pegang di tangan kanannya, Koran hari jumat tanggal 14 juni di halam 10 dengan topic  besar di atas halaman  itu, NAMA CALON SEMENTARA LEGISLATIF , setelah beberapa menit aku baru sadar kenapa ia hanya membolak balikan halaman yang hanya memiliki judul yang sama itu.

 
Di temani oleh salah satu kawan ku mr maun. ia mencari nama nama calon legislatif yang menjadi sasaran undangan pada acara pergantian OSDH yang akan kami laksanankan nanti pada tanggal 22 bulan itu, dari nama calon sebanyak itu, ia hanya melingkari nama nama yang menurutnya dekat dari lokasi dan pantas untuk di undang. Mr maun yang saat itu di tugaskan untuk menulis ulang ke buku pribadinya dengan cekat menuliskan nama nama yang akan di kirimi surat undangan, lalu pergi meninggalkan kami setelah selesai menuliskan nama nama itu di bukunya untuk membuat surat yang di maksud secepatnya.
Koran yang berceceran kini perlahan bukan menjadi focus perkumpulan pagi menjelang siang itu, galak tawa mulai keluar dari mulutnya seperti perkumpulan yang biasa kami lakukan, selalu ada tawa di sela perkumpulan serius membahas tentang perkembangan pondok. Mata ku menatap arah duduknya berharap ia menyinggung tentang keberangkatanku ke bandung, ia menatap aku cemas seolah bisa membaca hati ku, lalu ia membukanya dengan bertanya,”sudah pernah di kontak dari kantor” dengan halus ia mengutarakan pertanyaan itu, “ dengan hati hati dan mencoba mengatur kata kata aku menjawab, “ belum mik” sedikit kecewa dan khawtir karena satu hari lagi dari keberangkatan sedang tiket belum aku lihat, ia memang pintar membaca hati orang, seolah ia tahu perasaan kawatirku, ia mencoba meyakinkan ku dan berkata “ di tunggu aja mungkin nanti jam 3 antum di panggil”, aku sedikit lega karena ada kepastian walaupun aku tak tahu apakah kata kata itu hanya bertujuan untuk menghibur ku.
Kami masih duduk bersama di depan kantor sederhana bersekatkan bedek[1], di sela keteganganku, hape yang ku simpan di saku tiba tiba berbunyi, berharap itu dari salah satu staff kantor kemenag yang mamik tadi maksud, satu massage di terima, tanpa aku pedulikan siapa yang mengirimi pesan, aku langsung membaca isinya, dan Alhamdulillah harapan ku benar, kecemasan ku hilang, ia menyuruhku datang mengambil tiket dan surat tugas ke kantornya jam 3 sore nanti. Aku tak membalasnya panjang, sampai salam pun aku lupa karena kebahagiaan ku membeludak sehingga hanya membalas bilang “Nggih pak”. Ingin rasanya pergi dari tempat duduk itu, dan bersujud syukur karena ini adalah kepergian pertamaku keluar kota di tambah dengan tidak ada biaya yang harus aku keluarkan, tapi aku tak seceroboh itu, kesenangan itu aku simpan dengan rapat-rapat dalam hati dan tetep bertahan duduk bersamanya.
Jam menunjukan pukul 12 siang itu, suara lantunan ngaji di setiap masjid terdengar dengan indahnya, menyadarkan kami kalau hari itu adalah hari jumat, ia terlihat bergegas dan menyuruh kami bersiap-siap untuk jumatan. Setelah itu ia mengucapkan salam lalu pergi meninggalkan kami. Aku langsung masuk kamar dan sujud sukur sambil beberapa kali mengucapkan Alhamdulillah di sana.
Tak terasa azan shalat jumat sudah di komandangkan, aku bangkit dan segera bersiap-siap  untuk memenuhi panggilannya. Dengan pakian sederahana ku hidupkan mesin si kuning yang sudah beberapa tahun ini menemani perjalanan ku. Tiba di masjid aku ambil air wudhu karena tadi gak sempat ambil air wudhu di pondok takut telat. Setelah urutan wudhu selesai aku lakukan lalu menaiki masjid dan shalat dua rakaat di sana.*
Khutbah telah selasai di bacakan, salah satu warga yang bertugas hari itupun mengomandangkan iqomah pertanda shalat jumaat akan segera kita mulai. Dengan pakian serba putih Kiyai yang selama ini di percaykan masyarakat untuk memimpinya dengan mantap mengambil posisi di depan makmum sebagai imam. Seperti biasa sebelum ia mulai shalatnya ia tak pernah lupa mengingatkan mamkmumnya untuk merapikan dan merapatkan shafnya.
Jam dinding masjid itu menunjukan jam 01.30 amalan shalat jumat telah selasai kami baca, masjid yang terletak di dasan desa tanak beak ini memang memiliki keunikan dalam berjamaah shalat jumat, ia masjid yang paling cepat menyelasiakan jumatannya. Sepertinya ia bisa membaca keadaan masyarakatnya yang kian hari sudah tidak terlalu senang dengan jumatan yang prosesnya lama seperti halnya di masjid masjid besar di kota.
*****
Siang itu entah kenapa nafsu makan ku gak ada, aku juga gak tahu kenapa satu minggu belakangan ini badan ku terasa gak fit, sehingga  tak jarang pak zul kepala sekolah ku yang juga salah satu orang yang saya banggakan di pondok ini mengeledek ku bilang “gak sah tegang naik pesawat tad, naik pesawa itu santai ja gak lebih seperti naik mobil” aku hanya merespon dengan mengembang kan mulut sambit ternsenyum manis padanya. Saat itu memang wajah ku terlihat sedikit pucat tapi bukan karena aku takut akan naik pesawat walaupun ini adalah pertama kalinya aku akan terbang menyebrangi lautan lewat pesaawat.
Matahari perlahan bergeser kearah barat, ku lihat jam di hape ku sudah menunjukan pukul 02.30 teringat kalau hari ini, aku ada janji dengan salah satu staff yang mengurus keberangkatan ku, dengan cepat aku memecet tombol hape dan mencari kontak teman yang akan bersama ku pergi ke bandung, ust yusron aziziyah namanya, lalu mengirimnya pesan dan mengajak ia ketemu nanti di kantor kemenag NTB, karena sebelumnya aku gak pernah ketemu dengannya. Ia hanya memberitahu ku via handphone kalau keberangkatan kebandung bersama dengannya. Setelah pesan pendek aku kirim tak  lama kemudian ia membalas dan menyetujui perjanjian itu.
Kurang lebih 30 menit aku habiskan perjalanan dari pondok ke mataram, di perjalanan hape ku berdering satu panggilan masuk, karena saat itu aku berada di lampu merah dan kebetulan sedang menyala merah, aku ambil hape yang ku letakan di kantong celana sebelah kiri dan melihat ternyata teman yang di aziziyah, langsung saja aku menekan tombol warna hijau di hp ku dan mengucapkan salam untuknya “ assalmukum tad, napi?  Ku awali percakapan via handphone itu, dengan suara lembut dan sopan ia menjawab salam ku, “ walaikumslam, saya udah di kantor ini, antum di mana?” sambil sedikit bergegas karena klakson mobil yang berada di belakang ku sudah mulai berbunyi “ ana di jalan tad bentar lagi nyampe, tunggu aja bentar” kayaknya dia paham kalau dalam perjalanan pasti gk aman untuk keselamatan jika melanjutkan pembicaraan lewat telpon, lalu ia akhiri percakapan pendek itu dengan mengucap salam dan menyuruhku hati hati.
Ku paksakan si kuning untuk berlari lebih cepat lagi, karena takut membuat ia kecewa menunggu lama,  tak samapi 10 menit dari jarak kami ngomong, akhirnya sampai juga di kantor wilayah kemenag NTB tepatnya di utara kantor imigrasi depan sebalah selatan kantor DPRD NTB, sementara si kuning aku suruh istrihat, aku beranikan diri memasuki kantor yang cukup mewah itu, dan bertanya di security yang bertugas hari itu, “ assalamualaikum pak, ruang tempat mengurus kepergian ke bandung untuk pengembangan KTSP pondok pesantresn salafiyah di mana ya”? aku melihat ada tanda Tanya di atas kepalanya “ maaf pak, kalau yang itu saya tidak tahu, cobak masuk aja ke dalam nanti bertanya di sana”?  pede saja aku masuk walaupun sebenarnya tidak tahu mau masuk ke ruangan mana, tiba tiba terbesit di kepalaku kalau teman sekepentingan denganku itu sudah sampai duluan di sana, lagi lagi aku mencari kontaknya di hapeku dan menelponya, “ tad ana udah nyampe kantor ni, antum di mana?  Suara angin ternyata mendominasi sehingga suaranya agak kabur, beberapa kali aku bilang hallo namun suaranya tetap tak jelas, perlahan suaranya mulai kedengaran, nampaknya tadi ia berjalan kearah bawah karena sebelumnya ia sudah berada di tempat pengambilan surat tugas di lantai 2, “ saya sedang  menuju ke lantai satu ini” antum di mana”? hehe dalam hati aku ketawa, ternyata bukan aku yang menghampiri tapi memang kebetulan saja dia ke lantai satu dan akhirnya bertemu di sana “ ust yusron ya”? ku awali percakapan langsung  pertama dengannya  dan menjabat tangannya, “ nggih saya yusron” dia tak bertanya banyak tentang ku saat itu, dalam hati aku bergumam, ooo ini toh namanya ust yusron, ternyata orangnya sudah lebih berumur dariku, tapi ia tetap sopan dan menghormati kala aku ngomong dengannya, itu lah yang membuat aku juga segan dengannya.
Setelah menaiki beberapa anak tangga, kami berdua akhirnya sampai di ruangan tempat pengambilan surat tugas, salah seorang laki laki yang juga merupakan staff kantor itu memberiku sebuah amplove berisi tiket pulang pergi, dengan ternsenyum aku mernerima amplove itu, lalu kami pegi meninggalkan ruang ber AC itu dengan tujuan bandung di benak kami. Di sela perjalanan menuju tempat parkir,  kami bercakap cakap sehingaa kami sedikit saling tahu satu sama lain, tak terasa anak tangga yang kami lewati sudah habis kami pijaki tempat parkirpun sudah terlihat di depan mata, aku tak bisa banyak ngobrol dia pun sama, akhirnya kami akhiri pertemuan sore itu, dengan berjabat tangan dan berharap esok kami ketemu di bandara soekarno hatta di Jakarta, karena setelah melihat tiket ku, ternyata jadwal kebarangkatanku berbeda dengan nya, aku lebih awal satu jam darinya.
Malam terlihat sunyi semua santri sibuk dengan buku yang ada di depannya, sesekali suara kodok menghibur kami dengan suaranya yang agak menggelitikan telinga, tas ransel warna hitam sudah siap aku bawa, karena habis pulang dari kantor kanwil tadi sore aku langsung menyiapkan pakian dan kebutuhan yang harus di bawa, rasanya pingin malam itu cepat cepat tidur supaya perjalanan esok tidak ada kendala soal tenaga, tapi mata ini tetap tak bisa tertutup, masih membayangkan gimana cara menaiki pesawa dan prosedur masuk bandara, karena selama ini aku hanya tau teori kalau berpergian harus melalui check in, dan menuggu di waiting room setelah mendapat boarding pas di tempat check in.
Malam semakin larut, ku paksakan mata ini tertutup dan melayang ke dunia kapuk, mimpi malam itu tidak ku hiraukan setelah pukul 40.00 teman ku membangkukan ku dari mimpi itu,
******
BANDARA INTERNASIONAL LOMBOK (BIL)
15 juni 2013
     Jam menunjukan pukul 04.15 pagi, mobil zebra hitam memecah keheningan malam dan meluncur ke arah timur selatan menuju BIL (bandara internasional lombok) pak zul yang saat itu mengendarai mobil terlihat pede sehingga larinya lebih kenceng dari sebelumnya, berbeda dengan kawan sebelah kiriku, pak zun, pagi itu kelihatan sangat capek dia tertidur pulas karena tadi malam tidak tidur menjaga pondok di waktu malam (bolis), sekitar 45 menit mobil itu berlari kenceng, akhirnya sampai juga di tujuan, aku ambil tas rancel warna hitam bermerkan shicata  itu dan keluar dari mobil yang membawaku dari awal. tubuh ku gerogi selain karena dinginnya malam ini adalah awal aku mengikuti prosedur masuk bandara. Aku masih tetap berdiri di depan gate keberangkatan, ku lihat layar TV yang entah apa namanya aku tak tahu, yang jelas di sana tempat melihat informasi pesawat yang akan berangkat dan yang akan datang. Sambil menunggu kedatangan pak zul yang katanya mau parkir mobil ku lihat dengan teliti dan menemukan informasi pesawat lion air tujuan Jakarta akan berangkat jam 06.55 dan sudah membuka check in.  jam hp ku menunjukan pukul 5.15 namun pak zul belum kelihatan melangkahkan kakinya, setelah beberapa menit akhirnya dengan baju putih kaos kotak kotak, ia menhampiri ku dengan senyum dan melepas keberangkatan ku, ku cium tangan dua orang kawan sekaligus guru ku itu dan berpesan “baik-baik di sana, jangan lupa telpon atau kasih kabar kalau sudah sampe Jakarta,” pagi itu masih kelihatan gelap, ku lihat dua guru ku  itu meninggalkan tempat kami berdiri tadi ke arah parkiran mobil yang ia kendarai, setelah mereka tidak kelihatan aku baru masuk dan check in di dalam bandara.
Setelah check in dan mendapatkan boarding pass, aku langsung menuju kearah ruang tunggu pesawat, sampai di sana pintunya masih tertutup,  belum ada keliatan satu orangpun petugas di sana, dua orang sebaya dengan ku terlihat gelisah di kursi luar waiting room, ku hampiri dan bertanya, “ dari mana bang” dengan logat bimanya ia menjawab “ dari bima bang mau ke Kalimantan tapi transit di Jakarta”  aku belum menanyakan mau kemana malah ia sudah beri tahu aku tujuannya, belum sempat aku bertanya kembali eehh malah ia bertanya lagi, “kalau abang mau kemana” “ aku mau ke bandung,” sambil tersenyum ke arahnya, setelah beberapa menit ngobrol dengan orang bima itu, seorang laki-laki berbaju putih kelihatan tergesa-gesa menghampiri pintu ruang tunggu nampaknya ia sadar kalau ia telat membukakan kami pintu sehingga membuat para penumpang banyak nunggu di luar ruang tunggu, setelah ia berhasil membuka pintu, ayunan tangan kearah semua penumpang ia lambaikan pertanda kami harus masuk, sebelum aku duduk manis di kursi ruang tunggu aku harus melewati mesin pendeteksi dulu, jangan-jangan ada sesuatu yang membuat bahaya orang banyak aku bawa, Alhamdulillah setelah ia menggeledah jaket dan beberapa kantong celana ku ia kemudian menyuruhku mengambil tas dan mempersilahkan ku duduk di kursi.
Ku pandangi setiap sudut ruangan itu, semua penumpang terlihat sibuk dengan bawaannya, tak ada yang saling memperhatikan kecuali beberapa ibu ibu sedang asyik mengobrol dengan kawan sebayanya, entah apa topic pembahasannya hingga ia tak hiraukan penumpang lain yang berada di samping duduknya dari tadi, sudah dua kali pengeras suara terdengar menghimbau agar penumpang segera  memasuki ruang tunggu, namun kawanan ibu ibu itu tetap tak menghiraukan suasana itu, hingga himbauan terakhir dengan lancarnya sang petugas bandara melalui pengeras suaranya menyuruh kami agar menaiki pesawat, Nampaknya jam sudah menunjukan pukul 06.00 WITA tepat dengan yang ada di tiket ku, dalam hati aku bersykur, kali ini pesawat lion air yang terkenal dengan tradisi delay nya tak berlaku. setelah himbauan tadi semua penumpang terlihat buru buru menuju gerbang masuk menuju pesawat, sambil menyodorkan boarding pass dan di lengkapi dengan kartu identitas (KTP/SIM) kami memasuki tubuh pesawat warna putih yang bertuliskan lion air di tubuh sejajar dengan jendela pesawat.
********
DALAM PESAWAT
Setelah memasukan tas ke dalam bagasi, aku lihat kembali boarding pass ku, untuk meyakinkan diri kalau kursi yang akan aku duduki benar dan sesuai dengan yang tertera di kertas kecil warna putih itu, ku perhatikan baik baik di setiap jejeran kursi yang sudah tertata rapi sambil mencari nomor yang pas dengan yang sudah aku pegang, 7D. nomor ganjil yang memiliki posisi agak depan dari bagian pesawat, membuat ku cepat menemukan nomor yang sebentar lagi akan aku duduki karena memang aku memasuki pesawat  melalui depan, sedangkan penumpang yang seatnya di atas 20 memasuki pesawat melauli belakang dan harus turun ke daratan bandara.
Tiga orang pramugari berpakian batik kemerahan terlihat sibuk memeriksa setiap bagasi dan menutupnya jika sudah penuh, penumpang kini sudah duduk rapi di kursinya masing masing tak terkecuali aku, suara besi yang menjadi kepala sabuk pengaman terdengar seperti lantunan lagu acapela yang pernah kami mainkan di pondok bersama tujuh lascar cheng hoo[2]. Kepala ku melirik teman di sampingku yang dari tadi tertidur pulas, berharap ia memberi contoh cara menggunakan sabuk pengaman pesawat itu, sedikitpun aku tak mendapatkan kemahiran di sana, akhirnya aku nekat dan mencoba sendiri, saat sabuk itu aku eratkan perutku terasa sedikit meronta karena terlalu erat, aku panik tapi tak berani memperlihatkan kepanikan ku, karena malu jadi bahan ketawaan seisi pesawat, aku tahan sambil mencoba untuk mengendorkan sabuk itu, setelah beberapa cara aku gunakan akhirnya, perutku kembali terasa normal karena berhasil aku kendorkan.
Bunyi suara mesin pesawat yang saat itu aku tumpangi mulai menggaung di telinga, perlahan ia mulai berjalan menyusuri landasan. para pramugari dan pramugara mengambil posisi untuk memberitahu kami cara menggunakan sabuk pengaman dan memakai pelampung jika nanti pesawat dalam keadaan tidak baik, para penumpang juga di larang menghidupkan hape dan alat elektronik lainya karena dapat mengganggu system selama penerbangan.  mereka terlihat kompak dan bersemangat, tak jarang ia mengembangkan mulutnya dan tersenyum manis membuat ia kelihatan sempurna. Sambil pesawat mengambil ancang ancang untuk tinggal landas ia manfaatkan waktu yang sedikit itu untuk breafing kami.
Pesawat itu semakin bertambah kecepatannya, tak lupa pramugari sekali lagi mengingatkan kami agar sabuk pengaman di gunakan, wussssss suara mesin pesawat itu meninggalkan bandara dan terbang, huhhh dalam hati aku bergumam “ini toh rasanya naik pesawat, cukup ekstrim dan membuat sedikit tegang”.
********
DI BANDARA INTERNASIONAL SOEKARNO-HATTA
Setelah sekitar dua jam di atas udara bersama lion air, kini pesawat itu mendarat di bandara soekarno hatta, namun dua puluh menit sebelum roda pesawat menyentuh landasan, kami kembali di ingatkan untuk mengenakan sabuk pengaman, karena biasanya saat pesawat landing saat itu pula sabuk pengaman di butuhkan. Dari ketinggian seratus kaki terlihat bangunan bertingkat menjulang tinggi mengarah ke angkasa, air laut terlihat tenang dengan warna khasnya, cuaca pagi itu juga sangat mendukung sehingga ibu kota dari udara kelihatan sangat indah.
Roda pesawat kini sudah menyentuh daratan bandara soekarno hatta, suara roda pesawat  yang di rem sangat menakutkan sebagian penumpang yang yang belum terbiasa mendarat. Alhamdulillah setelah jarak beberapa meter, suara roda itu tak kedengaran dan pesawat terlihat jinak oleh para pilot handal yang membawa kami saat itu. Perlahan pesawat itu berjalan layaknya mobil yang berlari di jalan raya hingga kami tiba di tempat penuruan penumpang.
Tas ransel yang di dalamnya berisi pakian sudah di pundakku, terlihat penumpang berdesak desakan mengantri tak tahan ingin cepat keluar dari badan pesawat, karena posisi ku lumayan dekat dari pintu keluar membuat ku tak banyak menghabiskan tenaga mengantri keluar. Setelah berhasil keluar dari badan pesawat, aku ambil handphone di kantong sebelah kananku yang dari dua jam yang lalu aku switch off atas perintah dan keamanan penerbangan, lalu menghidupkannya kembali, Beberapa sms yang masuk tak ku hiraukan yang pertama kali aku lakukan adalah mencari kontak dua teman bima ku yang barusan saja aku kenal dan mengajak mereka jalan bareng menuju terminal kedatangan penumpang, Karena jujur saja ini adalah kali pertama aku menginjak kan kaki di Jakarta, jadi semua terlihat awam dan tentunya aku butuh kawan untuk mengobrol. Aku tak mikir panjang lagi, ku tekan tombol memanggil setelah nama arief aku temukan di kontak hape. Sambil menengok mereka dari jendela atas, hape  tetap ku posisikan di telinga sebelah kiri, mereka baru saja keluar dari jebakan antrian panjang keluar pesawat namun panggilan ku tak juga di angkat, ia kelihatan sibuk dengan barang bawaanya hingga tak sempat mengambil hp yang entah di mana ia taruh. Aku paham dengan kondisinya  dan memutuskan untuk  memberanikan diri di mana gerbang yang akan ia tuju. Bermaksud bertemu di sana. Ternyata tuhan tahu bagaimana kami saling membutuhkan sehingga kami di pertemukan di gerbang lantai satu menuju terminal IB.
Ia melambaikan tangan ke arahku, tapi aku tak membalas dengan hal yang sama aku hanya membalasnya dengan senyum. dengan logat khas bimanya ia awali percakapan seasion kedua setelah pertemuan pagi di BIL, “ apa abang langsung berangkat ke bandung” ? nampaknya abang adalah panggilan khas kota bima yang sering ia lontarkan ketika menyapa orang yang lebih tua darinya, “ ndak aku mau tunggu teman dulu” kataku sambil berjalan beriringan keluar dengannya,di terminal  aku baru tahu setelah melihat tiket transitnya kalau tujuan aslinya adalah Kalimantan, tapi transit di Jakarta. Belum sempat kami sampai di pintu kedatangan Seorang petugas bandara sambil melambaikan tangannya menginstruksikan penumpang yang transit untuk segera di data sesuai dengan tujunanya. Ia tak memperhatikan orang yang menggunakan sergam merah itu, perhatiannya ternyata cukup focus ke arah ku.  Untungnya aku tahu kalau ia juga salah satu penumpang yang transit di sana, ku ambil tiketnya dan mendafarkannya, sambil mengerutkan dahinya petugas itu bertanya “ apa ada barang yang di bagasikan ”? aku tak tahu persis jawabannya karena itu bukan tiket milikku, karena ia di sampingku dan mendengar pertanyaan yang di lontarkan sepontan saja ia menjawab, “ ia ada” petugas itu  lalu melanjutkan pertanyaan  yang berbeda, “ barang bagasinya mana”? kali ini muka cerianya tiba tiba berubah menjadi expersi yang tak pernah  aku ingin lihat, wajahnya  tiba tiba merah dan ia kelihatan panic, ternyata bagasinya belum sempat ia ambil, aku yang di belakangnya berdiri sambil menekan nekan tombol hape sedang smsn dengan kawan ku di Lombok sudah tahu kenapa ia pasang expresi seperti itu, aku akhirnya mengambil alih pembicaraan dan bertanya, “kalau bagasi yang belum sempat di ambil, ngambilnya di mana mba”? dengan senyum ia menjawab “ mas harus balik lagi ke terminal di mana mas turun dari pesawat”. Waduhhh dalam hati aku terkejut,gimana tidak  jarak terminal tempat aku turun dengan tempat aku berdiri  saat ini lumaya jauh, kira kira 500 meter yang di tempuh sekitar 15 menit dengan jalan kaki, aku sembunyikan keluhan hati itu dan mengajaknya kembali ke terminal yang di maksud.
Langkah kakiku sengaja ku percepat, karena takutnya nanti teman yang ku tunggu malah sudah datang dan pergi meninggalkan ku sendirian. Sampai di terminal ia engos engosan nampaknya ia gak biasa jalan secepat saat itu. Tanpa ku pedulikan keadaanya karena yang terpenting adalah barangnya ia temukan dan terrsenyum kembali, ku beranikan diri mengahadapi salah satu petugas bandara saati itu dan bertanya bagaiamana mengambil bagasi yang tak sempat di ambil ketika turun dari pesawat tadi, dengan sebuah HT di tangannya ia kelihatan sangat sibuk sedang berkomunikasi dengan sejawatnya, sehingga ia tak menggubris pertanyaanku, tanpa putus asa  ku ulangi pertanyan yang sama dan sedikit perlembut bahasanya,
Will be continoue


[1] Ulatan bamboo yang di gunakan sebagai sekat ruangan
[2] nama panggilan untuk para pejuang pondok di kampong  naga

Tidak ada komentar:

Man Has Latest NarQwe © 2008 Template by:
SkinCorner